IJTIHAD ‘UMAR IBN AL-KHAṬṬĀB DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

IJTIHAD ‘UMAR IBN AL-KHAṬṬĀB DALAM 

PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF


    Ijtihad yang berorientasi kepada maslahat dan pemahaman yang kontekstual terhadap naṣ itu membuat banyak kajian yang tertarik terhadap metode ijtihad 'Umar tersebut, di antaranya munculnya pemikiran yang menghubungkan adanya keselarasan antara konsep hukum progresif yang dipopulerkan oleh Satjipto Rahardjo dengan ijtihad 'Umar.

   Hukum Progresif sendiri adalah hukum yang mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.

  Berdasarkan definisi ini terlihat bahwa ijtihad memiliki beberapa esensi, yaitu:

a) Ijtihad adalah mencurahkan usaha dan kemampuan seorang fakih semaksimal yang ia bisa; 

b) Tujuan ijtihad adalah untuk mencapai hukum yang ẓannī;

c) Bahwa yang dituju oleh ijtihad adalah hukum yang bersifat praktis;

d) Cara untuk mendapatkan hukum yang dituju adalah dengan istinbāṭ;

 e) Objek ijtihad hanyalah pada dalil-dalil yang ẓanni atau tidak ada dalilnya sama sekali.


     Ada dua surat yang secara historis dinisbatkan kepada 'Umar, yaitu suratnya kepada Shurayḥ yang menjadi qāḍī di Kuffah dan Abū Mūsā al-Asy'arī yang menjadi qāḍī di Bashrah.Dua surat di atas jelas sekali menggambarkan pemikiran 'Umar dalam berijtihad terhadap sebuah permasalahan.

      Menurut Saiful Bahri dalam makalahnya yang berjudul Ijtihad 'Umar al-Faruq, tidak dijumpainya muallaf sebagai salah satu penerima zakat bukanlah berarti menafikan naṣ, akan tetapi keadaan mereka yang sudah tidak bisa dianggap muallaf lah yang membuat mereka tidak mendapat bagian dari zakat.

    Dalam hal peranan perilaku manusia dalam hukum, baik dalam Ijtihad 'Umar, maupun dalam hukum Progresif sama-sama menempatkannya dalam posisi yang penting, yaitu bahwa berbicara hukum tidak hanya berbicara peraturan, tapi yang terpenting adalah pertimbangan terhadap manusia yang dikenai aturan tersebut.

    Namun ketika dilihat lebih lanjut, dalam hal kemaslahatan yang diinginkan oleh keduanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar, yaitu pada standarisasi maslahat yang diinginkan dan proses menghasilkan maslahat dalam penetapan sebuah hukum.

    'Umar memandang nas sebagai sesuatu yang bisa berlaku pada ruang dan waktu yang berbeda, tinggal bagaimana menafsirkan nas tersebut dalam berijtihad. Jadi maslahat yang dimaksud dalam ijtihad 'Umar adalah maslahat yang tetap terikat dengan tiga landasan inti tersebut.



Komentar